KESESAKAN

Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.

Altman (1975), Heimstra dan Mc Farling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu(Heimstra dan Mc Farling, 1978; Holahan, 1982).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dikatakan sebagai kesesakan atau tidaknya dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:
1. Karakteristik seting fisik
2. Karakteristik seting sosial
3. Karakteristik personal
4. Kemampuan adaptasi

Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial(nonsocial crowding) yaitu dimana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols membedakan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan Molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota. Kesesakan Molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu : beban stimulus, kendala perilaku, dan teori ekologi (Bell dkk, 1978; Holahan, 1982).

Menurut model beban stimulus, kesesakan akan terjadi pada individu yang dikenai terlalu banyak stimulus, sehingga individu tersebut tak mampu lagi memprosesnya. Model kendala perilaku menerangkan kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa, sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Hambatan ini mengakibatkan individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Terhadap kondisi tersebut, individu akan melakukan psychological reactance, yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi yang mengancam kebebasan untuk memiliih. Bentuk psychological reactance tersebut adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi kebebasan yang hilang. Model teori ekologi membahas kesesakan dari sudut proses sosial.

Teori Beban Stimulus
Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti:
1. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan.
2. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat.
3. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki.
4. Terlalu banyak mitra interaksi.
5. Interaksi yang terjadi dirasa lalu dalam atau terlalu lama.

Teori Ekologi
Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.

Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.

Analisi terhadap seting meliputi :
1. Maintenance minim, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4 x 3 m bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
2. Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan)
3. Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan isteri.
b) Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga.

Besarnya maintenance minim antara performer dan non-performer tidak terlalu sama. Dalam seting tertentu, jumlah performer lebih sedikit daripada jumlah non-performer, dalam seting lain mungkin sebaliknya.

Teori Kendala Perilaku
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak apabila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat.

Altman (1975), kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor dibawah ini muncul secara simultan:
1. Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor :
a) Faktor-faktor situsional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.
b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.
c) Kondisi interpersonal, sepwerti gangguan sosial, ketidak mampuan memperoleh sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan lainnya.
2. Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stress, kekacauan pikiran, dan persaan kurang enak badan.
3. Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stress atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.

Faktor-Faktor yang Mempengaharui Kesesakan
1. Faktor Personal
a) Kontrol pribadi dan locus of control
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
c) Serta jenis kelamin dan usia.
2. Faktor Sosial
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
b) Formasi koalisi
c) Kualitas hubungan
d) Informasi yang tersedia
3. Faktor Fisik
a) Besarnya skala lingkungan
b) Variasi arsitektural

Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif ataupun negatif tergantung pada situasinya. Proshansky (1976) dan Altman (1975) juga berpendapat yang sama dengan freedman. Dan pendapat Altman juga didukung oleh Bharucha-Reid dan Kiyak (1982). Mereka melakukan penelitian tentang kepadatan dengan mengambil tiga variabel lingkungan yaitu: kebisingan, kepadatan sosial, dan kepadatan ruang.

Individu yang berada dalam keseakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala psikosomatik, serta penyakit-penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).

Perilaku sosial yang seringkali muncul kerena situasi sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan 1982).

Ditambahkan oleh Ancok (1989), perasaan sesak (crowding) di dalam rumah akan menimbulkan beberapa permasalahan diantaranya adalah:
1. Menurunnya frekuensi hubungan sex
2. Memburuknya interaksi suami istri
3. Memburuknya cara mengasuh anak
4. Memburuknya hubungan dengan orang-orang di luar rumah
5. Meningkatnya ketegangan dan gangguan jiwa

Penyebab terjadinya kelima permasalahan diatas adalah karena kebutuhan ruangan yang sifatnya personal tidak dapat terpenuhi. Hal ini menyebabkan banyak perilaku untuk memenuhi keinginan (goal directed behavior) tidak terselesaikan.

Konsekuensi negatif dari kesesakan juga coba diterangkan oleh Jain (dalam Awaldi, 1990) menjadi lima asumsi. Pertama, model beban stimulus. Kedua, model kendala perilaku. Ketiga, model ekologi. Keempat, model atribusi. Kelima, model arousal.

Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan terhadap perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain. (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih. (3) kontrol pribadi yang kurang. (4) stimulus yang berlebihan.

Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif terhadap perilaku seseorang. Namun Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan terkadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Contoh situasi yang dapat memberikan kepuasan dan kesenangan adalah pada saat melihat pertunjukan musik, pertandingan olah raga, dan menghadiri persepsi atau reuni.

Sumber: http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf

KEPADATAN

Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981) kepadatan, yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992). Penelitian tentang kepadatan manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worche dan Cooper, 1983) menggunakan tikus sebagai objek percobaan yang bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Pertumbuhan populasi yang tak terkendali, memberikan dampak negatif terhadap tikus – tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja tugas (task performance)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan, diantaranya :
1. Ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
2. Peningkatan agresivitas pada anak – anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.
3. Terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :
1. Kepadatan spasial (Spatial Density), dapat terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap
2. Kepadatan sosial (Social Density), dapat terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975: Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
1. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah.
2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah.
3. Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi.
4. Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.

Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
1. Kepadatan dalam (Inside Density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar.
2. Kepadatan luar (Outside Density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Altman (1975), variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi :
1. Jumlah individu dalam sebuah kota
2. Jumlah individu pada daerah sensus
3. Jumlah individu pada unit tempat tinggal
4. Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal
5. Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain.

Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur – unsur, yaitu :
1. Jumlah individu pada setiap ruang
2. Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal
3. Jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian
4. Jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman.

Heimstra dan Mc Farling (1978), kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling, 1978). Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987). Akibat secara psikis antara lain: stres, menarik diri, perilaku menolong (perilaku prososial), kemampuan mengerjakan tugas, perilaku agresi.

Koerte (dalam Budihardjo, 1991), faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat-istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial dan lain-lain, akan sangat menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk., 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo, 1991) mengungkapkan bahwa komunitas tradisional etnis Cina di Hongkong, Singapura, dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi tanpa merasa sesak.


Sumber: http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf

Ambient Condition dan Architectural Features

A. AMBIENT CONDITION

Rahardjani (1987) dan Ancok (1988) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku, yaitu : kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan, dan warna.

Kebisingan
Sarwono (1992), terdapat tiga faktor yang menyebabkan suatu suara secara psikologis dianggap bising, yaitu : volume, perkiraan, dan pengendalian. Jika dilihat dari tingkat volume, suara yang makin keras akan semakin dirasakan mengganggu. Lalu kebisingan dapat diperkiraan datangnya atau berbunyi secara teratur, akan menimbulkan gangguan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan suara yang datangnya secara tiba-tiba dan tidak teratur. Faktor kendali amat terkait dengan perkiraan, bila kita menyetel lagu metal, kita tidak merasakannya sebagai suatu kebisingan karena kita dapat mengaturnya sekehendak kapan suara itu kita perlukan.

Holahan (1982), membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi empat efek, tiga diantaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku. Kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematik yang secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Pada efek kesehatan, jika kebisingan dalam intensitas yang tinggi kita biarkan saja dan dalam jangka yang panjang, maka akan dapat menjadi penyebab hilangnya kemampuan kita dalam mendengar. Dan pada efek perilaku, kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi hilangnya beberapa aspek perilaku sosial

Suhu dan Polusi Udara
Holahan (1982), tingginya suhu dan polusi udara setidaknya minimal menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. Beberapa studi korelasional dibeberapa kota di Amerika Serikat menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara musim panas dan tingkat mortalitas. Tahun 1976 tingkat mortalitas ini meningkat hingga 50% dibeberapa area. Studi lain menunjukan adanya hubungan antara meningkatnya polusi udara dengan munculnya berbagai penyakit pernapasan seperti asma, infeksi saluran pernapasan, serta flu dibeberapa kota diAmerika Serikat. Pada efek perilaku menunjukan bahwa temperature yang tinggi akan mempengaruhi perilaku sosial. Seorang yang dalam keadaan temperature tinggi (lebih dari 100 derajat F) ternyata memiliki penilaian yang tidak jelas pada kuesioner, dan jelas berbeda dengan orang yang dalam kondisi nyaman.

Rahardjani (1987), suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : warna dinding dalam dan luar rumah, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni. Suhu yang paling nyaman adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Menurut Mom dan Weilsebrom, secara fisiologis aliran udara berfungsi sebagai pasokan oksigen untuk pernapasan; mengalirkan uap air yang berlebihan dan asap; mengurangi konsentrasi gas, bakteri, dan bau; mendinginkan suhu; dan membantu penguapan keringan manusia.

Pencahayaan dan Warna
Fisher dan kawan-kawan (1984), pada dasarnya, cahaya dapat mempengaruhi kinerja, dengan cara mempermudah atau mempersulit penglihatan ketika kita mengerjakan sesuatu.
Seperti halnya cahaya, warna juga dapat mempengaruhi kita secara langsung maupun ketika menjadi bagian dari suatu seting. Cahaya dan warna sulit untuk dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi.

Silau
Peristiwa silau terjadi ketika suatu sumber cahaya lebih terang dari pada tingkat penerangan yang normal, sehingga mata kita beradaptasi dengan cara menutupnya langsung seketika, ketika kita melihatnya. Studi yang dilakukan boyce dan Mc Cormick (1982) menunjukan bahwa disability glare atau efek langsung dari silau pada kinerja visual ternyata dapat mempengaruhi kualitas kerja seseorang. Efek negatif lainnya adalah meningkatkan perasaan silau sampai mendekati garis pandangan seseorang.

Warna
Warna yang amat terang dapat berpengaruh terhadap penglihatan. Area yang diberikan warna lebih terang disatu sisi menimbulkan kelelahan mata, juga akan menghasilkan bayangan yang mengganggu. Warna yang terlalu kontras, dapat memberikan terlalu banyak penangkapan mata dan memberikan kesan membingungkan (Lang, 1987).

Heimstra dan Mc Farling, warna memiliki tiga dimensi, yaitu: kecerahan (brightness), corak warna (hue), dan kejenuhan (saturation). Kecerahan adalah intensitas warna; corak warna adalah warna yang melekat dari suatu objek; kejenuhan adalah tingkatan unsure warna putih yang dicampurkan pada warna lainnya. Khroma untuk menggantikan kejenuhan, dan nilai (value), yaitu tingkatan gelap dan terang warna.
Holahan (1982) dan Mehrabian & Russel (1978), warna juga memiliki efek independen terhadap suasana hati, tingkat pembangkitan, dan sikap.

Lang (1987) terdapat perkiraan untuk mempertimbangkan efek psikologis dari persepsi warna. Beberapa ahli percaya bahwa warna gelap memiliki efek ke arah depresif, dan warna terang membuat hidup menjadi lebih mudah, lebih gembira, dan lebih akrab.

Pencahayaan dan Warna Di Dalam Ruangan
Preferensi warna akan menjadi lebih baik jika disertai adanya pemahaman terhadap situasi yang lebih mendalam terhadap jenis ruangan apa yang akan dirancang. Pemahaman tersebut antara lain adalah besar kecilnya ruangan, fungsi ruangan, dan kejenuhan.

B. ARCHITECTURAL FEATURES


Estetika
Pengetahuan tentang estetika akan memberikan perhatian pada dua hal. Pertama, identitas dan pengetahuan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan untuk menikmati karya yang menunjukan estetika.

Spranger membagi orientasi hidup menjadi enam kategori yaitu, nilai estetis, nilai ekonomi, nilai kekuasaan, nilai sosialm nilai religious, dan nilai intelektual. Menurut Fisher dan kawan-kawan (1984) salah satu tujuan utama dari desain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah diselesaikan. Kualitas estetika memegang peranan penting dalam hal ini.

Perabot
Imamoglu menemukan bahwa ruangan yang kosong dipersepsikan lebih besar dari pada ruangan yang memiliki perabot.
Pengaturan perabot dapat digunakan untuk membantu mengatur perencanaan tata ruang arsitektur suatu seting. Pada kebanyakan konteks lingkungan, dinding, lokasi pintu sudah ditetapkan.



Referensi:
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab3-ambient_condititon_dan_architectural_features.pdf

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes